Infrastruktur keairan
Pengertian InfrastrukturPengertian Infrastruktur tercantum dalam
beberapa versi. menurut American Public Works Association(Stone, 1974
Dalam Kodoatie,R.J.,2005), adalah fasilitas-fasilitas fisik yang
dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi
pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah,
transportasi dan pelayanan-pelayanan similar untuk memfasilitasi
tujuan-tujuan sosial dan ekonomi. Jadi infrastruktur merupakan sistem
fisik yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam
lingkup sosial dan ekonomi.
Secara teknik, infrastruktur memiliki arti dan definisi sendiri yaitu
merupakan aset fisik yang dirancang dalam sistem sehingga memberikan
pelayanan publik yang penting.
Sistem Infrastruktur
Sistem infrastruktur didefinisikan sebagai fasilitas atau struktur
dasar, peralatan, instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk
berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg, 2000
dalam Kodoatie,R.J.,2005). Sistem infrastruktur merupakan pendukung
utama sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan masyarakat.
Disini, infrastruktur berperan penting sebagai mediator antara sistem
ekonomi dan sosial dalam tatanan kehidupan manusia dan lingkungan.
Kondisi itu agar harmonisasi kehidupan tetap terjaga dalam arti
infrastruktur tidak kekurangan (berdampak pada manusia), tapi juga tidak
berlebihan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan alam karena
akan merusak alam dan pada akhirnya berdampak juga kepada manusia dan
makhluk hidup lainnya.
Dalam hal ini, lingkungan alam merupakan pendukung sistem infrastruktur,
dan sistem ekonomi didukung oleh sistem infrastruktur, sistem sosial
sebagai obyek dan sasaran didukung oleh sistem ekonomi. Analoginya
seperti gambar dibawah ini :
Pengelompokan sistem insfrastruktur dapat dibedakan menjadi (Grigg, 2000 dalam Kodoatie,R.J.,2005) :
Grup keairanGrup distribusi dan produksi energiGrup komunikasiGrup
transportasi (jalan, rel)Grup bangunanGrup pelayanan transportasi
(stasiun, terminal, bandara, pelabuhan, dll)Grup pengelolaan
limbahKomponen Infrastruktur
Komponen-komponen di dalam infrastruktur menurut APWA (American Public Works Association) adalah :
Sistem penyediaan air : waduk, penampungan air, transmisi dan
distribusi, fasilitas pengolahan air (water treatmentSistem pengelolaan
air limbah : pengumpul, pengolahan, pembuangan, daur ulangFasilitas
pengelolaan limbah padatFasilitas pengendalian banjir, drainase dan
irigasiFasilitas lintas air dan navigasiFasilitas transportasi: jalan,
rel, bandar udara (termasuk tanda-tanda lalu lintas dan fasilitas
pengontrolSistem transit publikSistem kelistrikan: produksi dan
distribusiGedung publik: sekolah, rumah sakitFasilitas perumahan
publikTaman kota sebagai daerah resapan, tempat bermain termasuk stadion
Sedangkan menurut P3KT, komponen-komponen infrastruktur antara lain:
Perencanaan kotaPeremajaan kotaPembangunan kota baruDrainaseAir
limbahPersampahanPengendalian banjirPerumahanPerbaikan kampungPerbaikan
prasarana kawasan pasar
Dilihat dari input - output bagi penduduk, komponen-komponen tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga karakteristik, yaitu:
Komponen yang memberi input kepada penduduk. Jenis infrastruktur yang
termasuk dalam kategori ini adalah prasarana air minum dan
listrikKomponen yang mengambil output dari penduduk. Jenis infrastruktur
yang termasuk dalam kelompok ini adalah prasarana drainase/pengendalian
banjir, pembuangan air kotor/sanitasi, dan pembuangan sampah.Komponen
yang dapat dipakai untuk memberi input maupun mengambil output. Jenis
infrastruktur yang termasuk dalam kelompok ini meliputi: prasarana jalan
dan telepon.
Minggu, 09 Desember 2018
Minggu, 02 Desember 2018
PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN
Banjir dan kekeringan merupakan dua kejadian ekstrimitas yang berbeda seperti dua sisi dari satu keping mata uang logam. Kejadian tersebut silih berganti, bahkan diprakirakan tidak akan dapat diatasi dalam jangka menengah. Fakta sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa besaran banjir dan kekeringan baik intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang ditimbulkan terus meningkat. Perbandingannya, tahun 1997 lahan sawah yang terkena banjir seluas 58.197 ha, sementara tahun 2006 yang terkena meningkat seluas 322.476 ha (554%). Sedangkan untuk kekeringan, luas sawah yang terkena pada tahun 1998 seluas 161.601 ha dan meningkat tajam pada tahun 2006 dengan luas sawah yang terkena mencapai 267.088 ha (60%). Tahun 1997 merupakan kejadian ekstrim dengan adanya fenomena El-Nino kuat sehingga lahan sawah yang terkena kekeringan mencapai 517.614 ha.
Sementara di Jawa kondisinya lebih memprihatinkan lagi karena dengan kemampuan memasok 50-55% produksi padi nasional, sebagian besar lahan sawah beririgasi dan tadah hujan yang rawan kekeringan 1. 448 829 ha (42%), rawan banjir 340 698 ha (9%), rawan banjir dan kekeringan 427 894 ha (13%), dan hanya 36% yang tidak rawan. Proporsi ini dipastikan akan terus memburuk karena lahan yang sampai saat ini belum rawan banjir dan kekeringan dapat berubah menjadi rawan banjir, rawan kekeringan atau rawan keduanya. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa banjir dan kekeringan merupakan masalah nasional yang harus diselesaikan secara bertahap dengan mengerahkan segala sumberdaya dan semua pemangku kepentingan.
Paling tidak ada enam argumen yang mendasari disusunnya buku cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan partisipatif ini: (i) peningkatan luas wilayah persawahan yang terkena banjir dan kekeringan, dengan dampak penurunan produksi sampai gagal panen (puso) terus meningkat (ii) terjadi banjir dan kekeringan pada tahun yang sama saat terjadi anomali iklim maupun kondisi iklim normal (iii) transisi dan periode ulang (return period) anomali iklim cenderung acak (randomized), sehingga sangat menyulitkan dalam adaptasi (iv) kekeringan dan banjir berulang pada tahun yang sama di lokasi yang sama (v) dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah dan antar waktu (vi) banjir dan kekeringan hanya dapat diturunkan besarannya tetapi tidak dapat dihilangkan, sehingga diperlukan pengelolaan terencana dengan semua pemangku kepentingan.
Berdasarkan ilustrasi kompleksitas, dinamika dan dampak masalah banjir dan kekeringan, maka diperlukan pengelolaan partisipatif dengan memberikan hak dan kewajiban yang proporsional terhadap semua pemangku kepentingan dengan menekankan tindakan penyesuaian dan anitisipatif agar risiko yang ditimbulkan dapat direduksi dan diantisipasi lebih dini.
Buku I cetak biru terdiri atas 4 (empat) bab yaitu Bab I berisi tentang Pendahuluan, Bab II menguraikan tentang Terminologi mengenai Banjir dan Kekeringan antara lain tentang Pengertian Banjir dan Kekeringan, Penyebab Banjir dan Kekeringan serta sebaran Wilayah Banjir dan Kekeringan.
Bab III menguraikan tentang Dampak Banjir dan Kekeringan terhadap Produksi Padi. Dampak banjir dan kekeringan menunjukkan kecenderungan peningkatan luas areal terkena dan puso serta Kejadian banjir dan kekeringan yang berulang di tahun yang sama dan lokasi yang sama sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap penurunan produksi pertanian khususnya padi.
Bab IV menguraikan tentang Kerangka Pikir Pengelolaan Banjir dan Kekeringan. Pengelolaan banjir dan kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan operasional yang difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.
Berdasarkan data pemantauan lapangan kejadian banjir dan kekeringan, maka ada tiga faktor dominan penyebab banjir yang harus diperhitungkan yaitu faktor klimatologis, hidrologis dan agronomis. Letak geografis diantara dua benua, dan dua samudra serta terletak di sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis dominan keragaman iklim penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim baik El-Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole Mode (IOD) maupun Median Jullien Oscillation (MJO). ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan apabila menghangat (El Nino), sebaliknya menyebabkan terjadinya banjir jika pendinginan (La Nina). Pengaruh IOD dibagi menjadi dua, IOD positif menyebabkan penurunan di wilayah Indonesia bagian selatan, sedangkan IOD negatif menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi di wilayah yang sama. Sementara MJO akan berpengaruh pada awal musim hujan yang dimulai dari bagian barat Sumatera bergerak terus ke timur.
Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang mengarah terjadinya perubahan iklim. Tahun 2007 perubahan itu antara lain dicirikan terjadinya dua periode musim kemarau dan musim hujan dalam satu tahun (), sehingga pola curah hujan berubah dari mono modal menjadi bimodal. Dampak negatif terhadap sektor pertanian yang paling signifikan adalah bergesernya awal musim hujan dengan banjirnya dan kemarau dengan kekeringannya. Implikasi langsungnya adalah kacaunya pola tanam, perubahan durasi musim dan intensitasnya. Perubahan iklim ini diperburuk dengan terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga mengganggu neraca air hidrologis. Implikasinya, terjadinya kelebihan air pada musim hujan dan atau kekurangan air pada musim kemarau, sehingga menyebabkan banjir dan atau kekeringan di lahan pertanian, kerusakan pertanaman padi, menurunnya produksi bahkan di beberapa wilayah mengalami puso.
Secara ilmiah, variabilitas iklim antar wilayah dan waktu akibat anomali dan atau perubahan iklim tidak dapat dikendalikan. Antisipasi melalui pendekatan adaptasi yang paling operasional adalah pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis yang selama ini belum optimal dilakukan petani. Berdasarkan pelajaran dan pengalaman kejadian banjir dan kekeringan sebelumnya, maka sudah selayaknya sektor pertanian dirancang lebih bersahabat dengan fenomena tersebut melalui adaptasi jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan peningkatan kemampuan sumber daya petani, diharapkan petani akan lebih menyadari dan lebih disiplin dalam mentaati jadwal tanam yang ketat dan pilihan komoditas yang tepat.
BANJIR DAN KEKERINGAN
A. Pengertian Banjir dan Kekeringan
A. Pengertian Banjir dan Kekeringan
Banjir adalah tergenangnya lahan pertanian selama periode genangan dengan kedalaman tertentu, sehingga menurunkan produksi pertanian. Sedangkan kekeringan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air mendukung proses produksi pertanian secara optimal, sehingga menurunkan produksi pertanian.
B. Penyebab Banjir dan Kekeringan
B. Penyebab Banjir dan Kekeringan
Secara faktual faktor determinan penyebab banjir dan kekeringan adalah kondisi iklim ekstrim, terganggunya keseimbangan hidrologis, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukannya. Besaran banjir dan kekeringan sangat ditentukan jumlah, intensitas faktor penyebab serta durasi terjadinya.
Penyimpangan iklim akibat ENSO, IOD dan MJO menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari ekstrimitas tinggi ke rendah atau sebaliknya, sehingga menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat menentukan besaran faktor klimatologis yang terjadi.
Kekeringan dan banjir juga dipengaruhi faktor hidrologis yang diindikasikan dari perbedaan debit sungai maksimum dan minimum. Kerusakan hidrologis umumnya terjadi akibat degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu yang lerengnya terjal dan mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang tidak meloloskan air (impermeable). Menurut data Departemen Kehutanan, dari 470 DAS di Indonesia, 62 DAS diantaranya kritis, sehingga seringkali mengalami banjir dan kekeringan. Sesuai dengan kesepakatan tiga menteri (Menteri PU, Kehutanan, dan Pertanian) tanggal 9 Mei 2007 di Bogor, maka dalam rangka penyelamatan sumber daya air, DAS-DAS kritis tersebut menjadi prioritas penanganan antar sektor (DAS kritis prioritas terlampir). Produksi sedimen yang tinggi akan mendangkalkan waduk, sungai dan saluran, sehingga menurunkan kinerja layanan irigasi. Laju kerusakan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rehabilitasinya, menyebabkan masalah banjir dan kekeringan di wilayah hilir semakin besar.
Lahan pertanian terutama di daerah hilir yang sumber airnya dari bendung atau bendungan (bangunan penangkap air di sungai) kinerjanya sangat dipengaruhi kerusakan hidrologis akibat menurunnya kapasitas tampung saluran dan pasokan air secara signifikan. Kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam. Terjadinya curah hujan ekstrim tinggi menyebabkan airnya melimpas sehingga terjadilah banjir. Sebaliknya, rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada musim penghujan menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga merupakan pemicu terjadinya kekeringan.
Kerusakan hidrologis juga menyebabkan aliran air sungai menurun drastis atau bahkan tidak ada sama sekali. Data dari Departemen PU, menunjukkan bahwa terdapat 5.590 sungai induk yang terhimpun kedalam 89 Satuan Wilayah Sungai (SWS). Dari sejumlah sungai induk tersebut, 600 sungai diantaranya berpotensi menimbulkan banjir, 62 diantaranya tergolong kritis dan super kritis.
Penentuan jadwal tanam dan pemilihan jenis komoditas tanpa memperhitungkan ketersediaan air merupakan penyebab terjadinya kekeringan agronomis. Fenomena ini banyak dijumpai pada lahan sawah irigasi golongan III ke atas, lahan-lahan tadah hujan ataupun areal gadu liar. Dampak negatif yang paling ekstrim akibat gadu liar adalah puso. Kekeringan agronomis umumnya terjadi akibat kebiasaan (habit) petani yang memilih memaksakan menanam padi walaupun ketersediaan airnya tidak mencukupi. Diperlukan bimbingan dan penyuluhan intensif, percontohan penyesuaian dan pengawalan pola tanam yang tepat, pembukaan peluang pasar komoditas alternatif, serta pemberdayaan petani untuk mengurangi beban kerugian yang dialami.
C. Wilayah Banjir dan Kekeringan
Wilayah banjir dan kekeringan sebagian besar berada di daerah aliran sungai yang kondisi hidrologisnya mengalami kerusakan. Wilayah banjir umumnya tersebar di :
Dataran rendah dan berdrainase buruk,
Sepanjang wilayah sungai terutama dataran banjir (flood plain) dan
Daerah pantai
Wilayah banjir dan kekeringan sebagian besar berada di daerah aliran sungai yang kondisi hidrologisnya mengalami kerusakan. Wilayah banjir umumnya tersebar di :
Dataran rendah dan berdrainase buruk,
Sepanjang wilayah sungai terutama dataran banjir (flood plain) dan
Daerah pantai
Wilayah kekeringan umumnya tersebar di :
Areal pertanian tadah hujan
Daerah irigasi golongan 3
Daerah gadu liar
Daerah endemik kekeringan
Areal pertanian tadah hujan
Daerah irigasi golongan 3
Daerah gadu liar
Daerah endemik kekeringan
KERANGKA PIKIR PENGELOLAAN BANJIR DAN KEKERINGAN
Sampai saat ini data, peta dan informasi tabular, spasial dan temporal tentang banjir dan kekeringan masih dikumpulkan dan disimpan di berbagai instansi Pemerintah seperti Departemen Pekerjaan Umum, Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional maupun swasta. Fragmentasi data dan informasi banjir dan kekeringan ini sangat menyulitkan dalam identifikasi dan karakterisasi, representasi dan rekonstruksi faktor penyebab, risiko dan model pengelolaannya. Dampaknya, penanganan banjir dan kekeringan lebih banyak dilakukan secara ad hock, partial, sesaat berdasarkan tugas pokok fungsi instansi dan interes prioritasnya. Rendahnya sinergi ini menyebabkan masalah banjir dan kekeringan sampai saat ini tidak dapat diturunkan besarannya sekalipun biaya yang dibelanjakan pemerintah (goverment expenditure) terus meningkat. Diperlukan kerangka pikir dengan pendekatan menyeluruh terhadap fakta empirik banjir dan kekeringan agar dapat memosisikan tugas, tanggung jawab dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan banjir dan kekeringan
Berdasarkan kerangka pikir hubungan timbal balik antara faktor penyebab, akibat dan upaya, maka tahapan dan kegiatan utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat direpresentasikan. Informasi ini selanjutnya harus disosialisasikan kepada semua pemangku kepetingan untuk disepakati, dilaksanakan dan diawasi bersama. Pemerintah perlu membuka kesempatan yang proporsional terhadap semua pihak untuk sharing (pengetahuan, pengalaman dan sumberdaya) serta berpartisipasi aktif agar masalah banjir dan kekeringan dapat diselesaikan sampai akarnya.
Pengelolaan banjir dan kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan operasional. Cetak biru ini difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.
A. Prioritas Pengelolaan
Sedangkan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan dilakukan berdasarkan kombinasi dari tiga pendekatan: klimatologis, hidrologis, dan agronomis, dengan memperhitungkan tingkat kemudahan dan pembiayaannya. Penetapan prioritas dilakukan secara partisipatif oleh pemangku kepentingan, petani dan petugas lapangan.
Prioritas I:
Klimatologis: Wilayah yang sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan berat atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir dan kekeringan
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas II :
Klimatologis : Wilayah yang rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan sedang atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas III :
Klimatologis: Wilayah yang agak rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan ringan atau penyebab lainnya sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
B.Langkah Penanganan
B.Langkah Penanganan
Secara sistematis langkah penanganan pengelolaan banjir dan kekeringan memuat dua strategi yaitu strategi umum dan dan strategi khusus.
1. Strategi Umum
Masing masing daerah menyusun pola tanam yang lebih ditail berdasarkan masukan seluruh pemangku kepentingan dengan memperhitungkan prakiraan iklim, keandalan debit, jenis komoditas yang diusahakan, dan aspek lainnya. Selanjutnya pola tanam tersebut dievaluasi secara reguler 2 (dua) mingguan agar dapat disesuaikan network planningnya dan diketahui periode kritisnya. Untuk itu diperlukan data dan informasi peramalan iklim yang semakin akurat, penyuluh yang giat di lapangan, penyusunan pola tanam dan jenis komoditas yang ketat serta perilaku petani yang taat terhadap kesepakatan yang telah dibuat bersama, contoh network diagram planning optimalisasi lahan sawah teknis pada Lampiran.
2. Strategi Khusus
Masing masing wilayah banjir dan atau kekeringan, kelompok tani/P3A beserta petugas Dinas pertanian dan Dinas Pengairan setempat harus melakukan work through di wilayah kerja masing masing sebelum tanam untuk melakukan pengecekan kembali kesiapan saluran dalam mendukung pelaksanaan pola tanam.
Membangun jaringan tingkat usaha tani dan atau jaringan tata air mikro di setiap lokasi untuk perbaiki efisiensi ketersediaan air
Untuk daerah yang mengalami banjir dan kekeringan introduksi tanaman yang tahan genangan dan atau kekurangan air perlu dilakukan sambil menunggu perbaikan DAS hulu dan perbaikan infrastruktur penanggulangan banjir dan kekeringan.
Untuk daerah yang mengalami banjir dan kekeringan introduksi tanaman yang tahan genangan dan atau kekurangan air perlu dilakukan sambil menunggu perbaikan DAS hulu dan perbaikan infrastruktur penanggulangan banjir dan kekeringan.
Ditail langkah penanganan banjir dan kekeringan dapat dilakukan berdasarkan menu pilihan yang tersedia dengan menyesuaikan kondisi dan permasalahan yang dihadapi setempat. Pilihan menu jangka pendek, menengah dan panjang disajikan sebagai berikut:
Jangka pendek
1) Klimatologis
Peningkatan kemampuan prakiraan iklim dan pengamatan perubahan iklim
Sosialisasi/diseminasi hasil prakiraan iklim
Pemetaan wilayah rawan banjir dan kekeringan
1) Klimatologis
Peningkatan kemampuan prakiraan iklim dan pengamatan perubahan iklim
Sosialisasi/diseminasi hasil prakiraan iklim
Pemetaan wilayah rawan banjir dan kekeringan
2) Hidrologis
Mencari sumber air alternatif atau membuat sumur
Rehabilitasi dan pemeliharaan Jaringan irigasi dan drainase
Pengembangan bangunan konservasi air
Pengembangan irigasi partisipatif;
Pemanfaatan pompa air (pompanisasi) dengan energi angin
Pengembangan usahatani konservasi, reklamasi dan optimasi lahan
Mencari sumber air alternatif atau membuat sumur
Rehabilitasi dan pemeliharaan Jaringan irigasi dan drainase
Pengembangan bangunan konservasi air
Pengembangan irigasi partisipatif;
Pemanfaatan pompa air (pompanisasi) dengan energi angin
Pengembangan usahatani konservasi, reklamasi dan optimasi lahan
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat dan pemilihan komoditas yang tepat
Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak (terlampir peta potensi rawa lebak)
Pengembangan SRI/PTT/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air.
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat dan pemilihan komoditas yang tepat
Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak (terlampir peta potensi rawa lebak)
Pengembangan SRI/PTT/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air.
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani
Pengembangan Sekolah Lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air
Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi
Peningkatan kinerja posko & pokja iklim (pusat & daerah)
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani
Pengembangan Sekolah Lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air
Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi
Peningkatan kinerja posko & pokja iklim (pusat & daerah)
Jangka Menengah
1) Klimatologis
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklim
Mengoptimalkan sosialisasi/desiminasi hasil prakiraan iklim
Evaluasi dan pembaharuan (up dating) peta wilayah rawan banjir dan kekeringan
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklim
Mengoptimalkan sosialisasi/desiminasi hasil prakiraan iklim
Evaluasi dan pembaharuan (up dating) peta wilayah rawan banjir dan kekeringan
2) Hidrologis
Membangun jaringan drainase dan irigasi
Rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan drainase/irigasi
Pengembangan irigasi partisipatif;
Pengembangan bangunan konservasi air
Pengembangan pompanisasi
Konservasi das hulu
Pengembangan usahatani konservasi
Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan
Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (gnkpa)
Gerakan gemar menanam
Membangun jaringan drainase dan irigasi
Rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan drainase/irigasi
Pengembangan irigasi partisipatif;
Pengembangan bangunan konservasi air
Pengembangan pompanisasi
Konservasi das hulu
Pengembangan usahatani konservasi
Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan
Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (gnkpa)
Gerakan gemar menanam
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat serta pemilihan komoditas yang tepat
Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air.
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat serta pemilihan komoditas yang tepat
Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air.
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani
Pengembangan sekolah lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air.
Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi pengelolaan air.
Pelatihan petugas lapangan lanjutan.
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani
Pengembangan sekolah lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air.
Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi pengelolaan air.
Pelatihan petugas lapangan lanjutan.
Jangka Panjang
1) Klimatologis
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklim.
Pemanfaatan dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
Pembaharuan (up dating) database spasial dan analisa spasial peta wilayah rawan banjir dan kekeringan
Sosialisasi/desiminasi hasil prakiraan iklim
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklim.
Pemanfaatan dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
Pembaharuan (up dating) database spasial dan analisa spasial peta wilayah rawan banjir dan kekeringan
Sosialisasi/desiminasi hasil prakiraan iklim
2) Hidrologis
Pembangunan dan pemeliharaan jaringan drainase
Pembuangan kelebihan air melalui pompanisasi
Pengembangan bangunan konservasi air
Pengembangan irigasi partisipatif
Konservasi das hulu
Pengembangan usahatani konservasi
Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan
Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (GNKPA)
Gerakan gemar menanam
Pembangunan dan pemeliharaan jaringan drainase
Pembuangan kelebihan air melalui pompanisasi
Pengembangan bangunan konservasi air
Pengembangan irigasi partisipatif
Konservasi das hulu
Pengembangan usahatani konservasi
Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan
Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (GNKPA)
Gerakan gemar menanam
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat dan pemilihan komoditas yang tepat
Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat dan pemilihan komoditas yang tepat
Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani
Pengembangan sekolah lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air
Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi pengelolaan air
Pelatihan petugas lapangan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani
Pengembangan sekolah lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air
Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi pengelolaan air
Pelatihan petugas lapangan
METODA PENYUSUNAN
Penyusunan peta banjir dan kekeringan partisipatif ini dilakukan melalui diskusi antar pemangku kepentingan untuk menghimpun data dan informasi serta bahan masukan pengambilan keputusan. Instansi yang berpartsipasi aktif dalam penyusunan awal meliputi: Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan, Badan Meteorologi dan Geofisika, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. Berdasarkan hasil beberapa kali diskusi, maka disepakati metode penyusunan peta pengelolaan banjir dan kekeringan partisipatif yang meliputi: (i) desk work untuk mempersiapkan peta rawan banjir dan kekeringan, rawan kekeringan dan rawan banjir dan penentuan kabupaten prioritas (ii) validasi lapangan bersama instansi terkait di kabupaten prioritas (iii) pemutakhiran (up dating) peta rawan banjir dan kekeringan dan naskahnya (iv) finalisasi cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan sekaligus presentasi final di depan Menteri terkait (v) sosialisasi hasil cetak biru ke masyarakat dan implementasi lapangan. Rencana ditail jadual waktu penyusunan cetak biru sampai dengan sosialisasinya disajikan pada Gambar Lampiran 1.
Berkaitan dengan butir (i), maka ditetapkan pada tahap pertama penyusunan peta rawan banjir dan kekeringan akan diselesaikan naskah utama dan naskah metode penyusunan wilayah rawan banjir dan kekeringan untuk pulau Jawa (Buku I) dengan pertimbangan karena jawa mensuplai 50% produksi pangan nasional, wilayahnya paling banyak terkena banjir dan kekeringan. Selanjutnya secara bertahap akan diselesaikan Nusa Tenggara (NTB dan NTT) (Buku II), Pulau Sumatra (Buku III), Pulau Kalimantan (Buku IVI), Sulawesi (Buku V), Bali dan (VI) serta Maluku dan Papua (Buku VII).
Paling tidak diperlukan lima elemen dasar untuk menyusun peta rawan banjir dan kekeringan yaitu (1) peta lahan sawah (2) peta daerah rawan banjir dan (3) peta daerah rawan kekeringan (4) peta daerah irigasi dan (5) peta administrasi level kecamatan. Superimpose/overlay kelima peta yang ada menghasilkan tematik rawan banjir dan kekeringan, rawan banjir, rawan kekeringan dan wilayah sawah yang belum rawan pada tingkat kecamatan.
Untuk menvalidasi peta rawan banjir dan kekeringan yang dihasilkan melalui desk work, maka peta-peta yang dihasilkan divalidasi ke lapangan bersama instansi terkait pusat, propinsi maupun kabupaten. Kegiatan validasi ke lapangan dipilih berdasarkan data sebaran luas wilayah yang terkena banjir dan atau kekeringan serta besaran dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil diskusi dengan instansi terkait, maka disepakati ada 12 Kabupaten di 3 Propinsi Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ditail ke 12 kabupaten tersebut adalah sebagai berikut:
Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Karawang, Indramayu, Cirebon dan Cianjur)
Propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Grobogan, Sragen, Pati, Rembang dan Blora)
Propinsi Jawa Timur (Kabupaten Gresik, Lamongan dan Bojonegoro)
Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Karawang, Indramayu, Cirebon dan Cianjur)
Propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Grobogan, Sragen, Pati, Rembang dan Blora)
Propinsi Jawa Timur (Kabupaten Gresik, Lamongan dan Bojonegoro)
Selanjutnya propinsi terkait diminta untuk dapat melakukan validasi kabupaten/kota rawan banjir dan kekeringan dengan menggunakan metode yang sama saat melakukan validasi ke 12 kabupaten prioritas.
Finalisasi cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan dilakukan dengan mengundang instansi terkait dalam jumlah yang lebih banyak untuk menghimpun masukan akhir sebelum dilakukan cetak final. Pendekatan partisipatif ini dimaksudkan agar hasil cetak biru menjadi milik bersama (common properties), sehingga merasa mempunyai kewajiban yang sama dalam menyusekseskan implementasi pengelolaan banjir dan kekeringan.
Untuk memperoleh masukan dan dukungan pengambil keputusan sektoral, maka akan dilakukan ekspose dengan mengundang Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait untuk memperoleh dukungan kebijakan dan pendanaan yang konsisten.
Setelah diperoleh dukungan pengambil kebijakan tertinggi sektoral dan lembaga pemerintah non departemen, maka sosialisasi dilakukan terhadap masyarakat luas sebagai pemangku kepentingan pertama dan utama. Peta, data dan informasi tentang wilayah rawan banjir dan kekeringan serta prioritas pengelolaannya disosialisasikan kepada petani dan seluruh pemangku kepentingan di kabupaten/kecamatan rawan banjir dan kekeringan untuk memperoleh masukan dan kesepakatan serta dukungan dalam implementasinya. Masyarakat termasuk petani perlu diberikan kesempatan luas untuk mengelola banjir dan kekeringan sesuai hasil musyawarah. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan dinamisator, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi pelaku utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan. Melalui pendekatan partisipatif ini, maka pemerintah dapat menggunakan succes story dari pilot project pengelolaan banjir dan kekeringan untuk diadopsi, dimodifikasi dan dikembangkan di daerah lain.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat dilakukan melalui: (i) penentuan prioritas pengelolaan (ii) identifikasi faktor penyebab (iii) pemilihan model pengelolaan banjir dan kekeringan yang partisipatif.
PENGELOLAAN BANJIR DAN KEKERINGAN LAPANGAN
Pengelolaan wilayah banjir dan kekeringan per kecamatan secara umum dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
A. Prioritas I, yaitu kecamatan yang sawahnya mengalami banjir dan juga kekeringan pada lokasi yang sama.
Daerah tersebut perlu mendapatkan penanganan pertama mengingat dampak ekonomi dan sosialnya relatif lebih besar jika dibandingkan dengan lainnya. Pada daerah-daerah tersebut termasuk daerah yang Sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim.
Daerah tersebut umumnya terjadi di bagian hilir daerah irigasi (golongan 4, 5 dst), daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) dan daerah sawah tadah hujan yang terdapat sumber air alternatif (air buangan, air tanah dangkal)
B. Prioritas II, yaitu kecamatan dimana areal sawah yang rawan mengalami banjir dan kekeringan lebih besar atau sama dengan areal yang aman.
Daerah tersebut bisa terjadi di bagian tengah/hilir daerah irigasi dan daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) serta tidak kesulitan mendapatkan sumber air alternatif untuk irigasi.
C. Prioritas III, yaitu kecamatan dimana areal sawah yang rawan mengalami banjir dan kekeringan lebih kecil dari areal yang aman.
Daerah tersebut umumnya masih terdapat sumber air alternatif untuk irigasi walaupun jumlahnya masih kurang.
Pengelolaan banjir dan kekeringan tersebut dilakukan melalui keterpaduan pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis dalam program jangka pendek, menengah dan panjang.
Selanjutnya aplikasi lapangan pengelolaan banjir dan kekeringan dalam bentuk jadual tanam yang ketat yang didukung penyuluh yang giat, dengan komoditas tepat dan petani taat disajikan dalam bentuk rencana jejaring kerja (network planing)
Minggu, 25 November 2018
TUGAS 5 PENGEMBANGAN SUMBER DAYA
AIR
KUANTITAS DAN KUALITAS AIR
OLEH :
VINY EKAWATI
16 630 014
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2018
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang
banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Menurut perhitungan WHO di negara-negara maju tiap orang memerlukan air
antara 60-120 liter per hari. Sedangkan di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia tiap orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari. Diantara
kegunaan-kegunaan air tersebut yang sangat penting adalah kebutuhan untuk minum
(termasuk untuk masak) air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut
tidak menimbulkan penyakit bagi manusia.
Masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air
yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan kualitas air
untuk keperluan domestic yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik, dan
kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain
menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan,
kerusakan, dan bahaya bagi semua mahkluk hidup yang bergantung pada sumber daya
air tersebut. Adapun menjadi permasalahan dalam makalah
ini yaitu untuk mengetahui kuantitas dan kualitas air dalam kehidupan
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan makalah pada makalah ini adalah bagaimana kuantitas dan kualitas air
dalam kehidupan masyarakat.
C. Tujuan
Adapun tujuan
pada makalah ini adalah untuk mengetahui kuantitas dan kualitas air dalam
kehidupan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kuantitas Air
Kuantitas
merupakan jumlah air yang tersedia dan siap digunakan oleh masyarakat dengan
ketentuan bahwa: Air minum yang dikonsumsi oleh penduduk baik di desa maupun di
kota harus memperhatikan kualitas maupun kuantitasnya. Ditinjau dari jumlah atau kuantitas air yang dibuthkan manusia,
kebutuhan dasar air bersih adalah jumlah air bersih minimal yang perlu
disediakan agar manusia dapat hidup secara layak yaitu dapat memperoleh air
yang diperlukan untuk melakukan aktivitas dasar sehari-hari (Sunjaya dalam Karsidi,
1999 : 18). Ditinjau dari segi kuantitasnya, kebutuhan air rumah tangga menurut
Sunjaya adalah:
1.
Kebutuhan air
untuk minum dan mengolah makanan 5 liter / orang perhari.
2.
Kebutuhan air
untuk higien yaitu untuk mandi dan membersihkan dirinya 25 – 30 liter/orang
perhari.
3.
Kebutuhan air
untuk mencuci pakaian dan peralatan 25 – 30 liter / orang perhari.
4.
Kebutuhan air
untuk menunjang pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas sanitasi atau
pembuangan kotoran 4 – 6 liter / orang perhari, sehingga total pemakaian
perorang adalah 60 – 70 liter / hari di kota. Banyaknya pemakaian air tiap
harinya untuk setiap rumah tangga berlainan, selain pemakaian air tiap harinya
tidak tetap banyak keperluan air bagi tiap orang atau setiap rumah tangga itu
masih tergantung dari beberapa faktor diantaranya adalah pemakaian air di
daerah panas akan lebih banyak dari pada di daerah dingin, kebiasaan hidup
dalam rumah tangga misalnya ingin rumah dalam keadaan bersih selalu dengan
mengepel lantai dan menyiram halaman, keadaan sosial rumah tangga semakin mampu
atau semakin tinggi tingkat sosial kehidupannya semakin banyak menggunakan air
serta pemakaian air dimusim panas akan lebih banyak dari pada dimusim hujan.
A. Pengertian
Kualitas Air
Sedangkan
pengertian kualitas adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang
disyaratkan atau distandarkan. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur
dan atau diuji berdasarkan parameter- parameter tertentu dan metoda tertentu
berdasarkan peraturan perundang¬undangan yang berlaku. Kriteria mutu air adalah
tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air.
B. Persyaratan
Kualitas Air
Parameter
Kualitas Air yang digunakan untuk kebutuhan manusia haruslah air yang tidak
tercemar atau memenuhi persyaratan fisika, kimia, dan biologis.
1. Persyaratan
Fisika Air
Air
yang berkualitas harus memenuhi persyaratan fisika sebagai berikut:
a. Jernih
atau tidak keruh
Air yang keruh
disebabkan oleh adanya butiran-butiran koloid dari tanah liat. Semakin banyak
kandungan koloid maka air semakin keruh.
b. Tidak
berwarna
Air untuk keperluan
rumah tangga harus jernih. Air yang berwarna berarti mengandung bahan-bahan lain
yang berbahaya bagi kesehatan.
c. Rasanya
tawar
Secara fisika, air bisa
dirasakan oleh lidah. Air yang terasa asam, manis, pahit atau asin menunjukan
air tersebut tidak baik. Rasa asin disebabkan adanya garam-garam tertentu yang
larut dalam air, sedangkan rasa asam diakibatkan adanya asam organik maupun
asam anorganik.
d. Tidak berbau
Air yang baik memiliki
ciri tidak berbau bila dicium dari jauh maupun dari dekat. Air yang berbau
busuk mengandung bahan organik yang sedang mengalami dekomposisi (penguraian)
oleh mikroorganisme air.
e. Temperaturnya
normal
Suhu air sebaiknya
sejuk atau tidak panas terutama agar tidak terjadi pelarutan zat kimia yang ada
pada saluran/pipa, yang dapat membahayakan kesehatan dan menghambat pertumbuhan
mikro organisme.
f. Tidak
mengandung zat padatan
Air minum mengandung zat padatan yang
terapung di dalam air.
2. Persyaratan Kimia
Kandungan zat atau mineral yang
bermanfaat dan tidak mengandung zat beracun.
1) pH
(derajat keasaman)
Penting dalam proses
penjernihan air karena keasaman air pada umumnya disebabkan gas Oksida yang
larut dalam air terutama karbondioksida. Pengaruh yang menyangkut aspek
kesehatan dari pada penyimpangan standar kualitas air minum dalam hal pH yang
lebih kecil 6,5 dan lebih besar dari 9,2 akan tetapi dapat menyebabkan beberapa
senyawa kimia berubah menjadi racun yang sangat mengganggu kesehatan.
2) Kesadahan
Kesadahan ada dua macam
yaitu kesadahan sementara dan kesadahanvnonkarbonat (permanen). Kesadahan
sementara akibat keberadaan Kalsium dan Magnesium bikarbonat yang dihilangkan
dengan memanaskan air hingga mendidih atau menambahkan kapur dalam air.
Kesadahan nonkarbonat (permanen) disebabkan oleh sulfat dan karbonat, Chlorida
dan Nitrat dari Magnesium dan Kalsium disamping Besi dan Alumunium. Konsentrasi
kalsium dalam air minum yang lebih rendah dari 75 mg/l dapat menyebabkan
penyakit tulang rapuh, sedangkan konsentrasi yang lebih tinggi dari 200 mg/l
dapat menyebabkan korosifitas pada pipa-pipa air. Dalam jumlah yang lebih kecil
magnesium dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan tulang, akan tetapi dalam
jumlah yang lebih besar 150 mg/l dapat menyebabkan rasa mual.
3) Besi
Air yang mengandung
banyak besi akan berwarna kuning dan menyebabkan rasa logam besi dalam air,
serta menimbulkan korosi pada bahan yang terbuat dari metal. Besi merupakan
salah satu unsur yang merupakan hasil pelapukan batuan induk yang banyak
ditemukan diperairan umum. Batas maksimal yang terkandung didalam air adalah
1,0 mg/l.
4) Aluminium
Batas maksimal yang
terkandung didalam air menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 82 / 2001 yaitu
0,2 mg/l. Air yang mengandung banyak aluminium menyebabkan rasa yang tidak enak
apabila dikonsumsi.
5) Zat
organic
Larutan zat organik
yang bersifat kompleks ini dapat berupa unsur hara makanan maupun sumber energi
lainnya bagi flora dan fauna yang hidup di perairan
6) Sulfat
Kandungan sulfat yang
berlebihan dalam air dapat mengakibatkan kerak air yang keras pada alat merebus
air (panci / ketel)selain mengakibatkan bau dan korosi pada pipa. Sering
dihubungkan dengan penanganan dan pengolahan air bekas.
7) Nitrat
dan nitrit
Pencemaran air dari
nitrat dan nitrit bersumber dari tanah dan tanaman. Nitrat dapat terjadi baik
dari NO2 atmosfer maupun dari pupuk-pupuk yang digunakan dan dari oksidasi NO2
oleh bakteri dari kelompok Nitrobacter. Jumlah Nitrat yang lebih besar dalam
usus cenderung untuk berubah menjadi Nitrit yang dapat bereaksi langsung dengan
hemoglobine dalam daerah membentuk methaemoglobine yang dapat menghalang
perjalanan oksigen didalam tubuh.
8) Klorida
Dalam konsentrasi yang layak, tidak
berbahaya bagi manusia. Chlorida dalam jumlah kecil dibutuhkan untuk
desinfektan namun apabila berlebihan dan berinteraksi dengan ion Na+ dapat
menyebabkan rasa asin dan korosi pada pipa air.
9) Zink
atau Zn
Batas maksimal Zink yang terkandung
dalam air adalah 15 mg/l. penyimpangan terhadap standar kualitas ini
menimbulkan rasa pahit, sepet, dan rasa mual. Dalam jumlah kecil, Zink
merupakan unsur yang penting untuk metabolisme, karena kekurangan Zink dapat
menyebabkan hambatan pada pertumbuhan anak.
2. Persyratan
mikrobiologis
Persyaratan
mikrobiologis yangn harus dipenuhi oleh air adalah sebagai berikut:
1) Tidak
mengandung bakteri patogen, missalnya: bakteri golongan coli; Salmonella typhi,
Vibrio cholera dan lain-lain. Kuman-kuman ini mudah tersebar melalui air.
2)
Tidak mengandung
bakteri non patogen seperti: Actinomycetes, Phytoplankton colifprm, Cladocera
dan lain-lain. (Sujudi,1995)
a. COD
(Chemical Oxygen Demand)
COD yaitu suatu uji
yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan misalnya
kalium dikromat untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat dalam air
(Nurdijanto, 2000 : 15). Kandungan COD dalam air bersih berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI No 82 / 2001 mengenai baku mutu air minum golongan B
maksimum yang dianjurkan adalah 12 mg/l. apabila nilai COD melebihi batas
dianjurkan, maka kualitas air tersebut buruk.
b.
BOD (Biochemical Oxygen
Demand)
BOD adalah jumlah zat
terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah bahan – bahan
buangan didalam air (Nurdijanto, 2000 : 15). Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah
bahan organik yang sebenarnya tetepi hanya mengukur secara relatif jumlah
oksigen yang dibutuhkan. Penggunaan oksigen yang rendah menunjukkan kemungkinan
air jernih, mikroorganisme tidak tertarik menggunakan bahan organik makin
rendah BOD maka kualitas air minum tersebut semakin baik. Kandungan BOD dalam
air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 82 / 2001 mengenai baku
mutu air dan air minum golongan B maksimum yang dianjurkan adalah 6 mg/l.
Adanya penyebab penyakit didalam air dapat menyebabkan efek langsung
dalam kesehatan. Penyakit-penyakit ini hanya dapat menyebar apabila mikro
penyebabnya dapat masuk ke dalam air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Standar
Kualitas Air di Perairan Umum
( Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1990 )
No
|
Parameter
|
Satuan
|
Kadar Maksimum
|
||||
Golongan A
|
Golongan B
|
Golongan C
|
Golongan D
|
||||
FISIKA
|
|||||||
1
|
Bau
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
2
|
Jumlah zat padat terlarut
|
Mg/L
|
1000
|
1000
|
1000
|
1000
|
|
3
|
Kekeruhan
|
Skala NTU
|
5
|
||||
4
|
Rasa
|
-
|
|||||
5
|
Warna
|
Skala TCU
|
15
|
||||
6
|
Suhu
|
oC
|
Suhu udara
|
||||
7
|
Daya Hantar Listrik
|
Umhos/cm
|
2250
|
||||
KIMIA anorganik
|
|||||||
1
|
Air raksa
|
Mg/lt
|
0.001
|
0.001
|
0.002
|
0.005
|
|
2
|
Aluminium
|
Mg/lt
|
0.2
|
-
|
|||
3
|
Arsen
|
Mg/lt
|
0.005
|
0.05
|
1
|
1
|
|
4
|
Barium
|
Mg/lt
|
1
|
1
|
|||
5
|
Besi
|
Mg/lt
|
0.3
|
5
|
|||
6
|
Florida
|
Mg/lt
|
0.5
|
1.5
|
1.5
|
||
7
|
Kadmium
|
Mg/lt
|
0.005
|
0.01
|
0.01
|
0.01
|
|
8
|
Kesadahan CaCO3
|
Mg/lt
|
500
|
||||
9
|
Klorida
|
Mg/lt
|
250
|
600
|
0.003
|
||
10
|
Kromium valensi 6
|
Mg/lt
|
0.005
|
0.05
|
0.05
|
1
|
|
11
|
Mangan
|
Mg/lt
|
0.1
|
0.5
|
2
|
||
12
|
Natriun
|
Mg/lt
|
200
|
60
|
|||
13
|
Nitrat sebagai N
|
Mg/lt
|
10
|
10
|
|||
14
|
Nitrit sebagai N
|
Mg/lt
|
1.0
|
1
|
0.06
|
||
15
|
Perak
|
Mg/lt
|
0.05
|
||||
16
|
.Ph
|
6.5 – 8.5
|
5 – 9
|
6 – 9
|
5 – 9
|
||
17
|
Selenium
|
Mg/lt
|
0.01
|
0.01
|
0.05
|
0.05
|
|
18
|
Seng
|
Mg/lt
|
5
|
5
|
0.02
|
2
|
|
19
|
Sianida
|
Mg/lt
|
0.1
|
0.1
|
0.02
|
||
20
|
Sulfat
|
Mg/lt
|
400
|
400
|
|||
21
|
Sulfida sebagao H2S
|
Mg/lt
|
0.05
|
0.1
|
0.002
|
||
22
|
Tembaga
|
Mg/lt
|
1.0
|
1
|
0.02
|
0.1
|
|
23
|
Timbal
|
Mg/lt
|
0.05
|
0.01
|
0.03
|
1
|
|
24
|
Oksigen terlarut (DO)
|
Mg/lt
|
-
|
>=6
|
>3
|
||
25
|
Nikel
|
Mg/lt
|
-
|
0.5
|
|||
26
|
SAR (Sodium Absortion Ratio)
|
Mg/lt
|
-
|
1.5 – 2.5
|
|||
Kimia Organik
|
|||||||
1
|
Aldrin dan dieldrin
|
Mg/lt
|
0.0007
|
0.017
|
|||
2
|
Benzona
|
Mg/lt
|
0.01
|
||||
3
|
Benzo (a) Pyrene
|
Mg/lt
|
0.00001
|
||||
4
|
Chlordane (total isomer)
|
Mg/lt
|
0.0003
|
||||
5
|
Chlordane
|
Mg/lt
|
0.03
|
0.003
|
|||
6
|
2,4 D
|
Mg/lt
|
0.10
|
||||
7
|
DDT
|
Mg/lt
|
0.03
|
0.042
|
0.002
|
||
8
|
Detergent
|
Mg/lt
|
0.5
|
||||
9
|
1,2 Dichloroethane
|
Mg/lt
|
0.01
|
||||
10
|
1,1 Dichloroethane
|
Mg/lt
|
0.0003
|
||||
11
|
Heptachlor heptachlor epoxide
|
Mg/lt
|
0.003
|
0.018
|
|||
12
|
Hexachlorobenzene
|
Mg/lt
|
0.00001
|
||||
13
|
Lindane
|
Mg/lt
|
0.004
|
0.056
|
|||
14
|
Metoxychlor
|
Mg/lt
|
0.03
|
0.035
|
|||
15
|
Pentachlorophenol
|
Mg/lt
|
0.01
|
||||
16
|
Pestisida total
|
Mg/lt
|
0.1
|
||||
17
|
2,4,6 Trichlorophenol
|
Mg/lt
|
0.01
|
||||
18
|
Zat Organik (KMnO4)
|
Mg/lt
|
10
|
||||
19
|
Endrin
|
Mg/lt
|
-
|
0.001
|
0.004
|
||
20
|
Fenol
|
Mg/lt
|
-
|
0.002
|
0.001
|
||
21
|
Karbon kloroform ekstrak
|
Mg/lt
|
-
|
0.05
|
|||
22
|
Minyak dan lemak
|
Mg/lt
|
-
|
Nihil
|
1
|
||
23
|
Organofosfat dan carbanat
|
Mg/lt
|
-
|
0.1
|
0.1
|
||
24
|
PCD
|
Mg/lt
|
-
|
Nihil
|
|||
25
|
Senyawa aktif biru metilen
|
Mg/lt
|
-
|
0.5
|
0.2
|
||
26
|
Toxaphene
|
Mg/lt
|
-
|
0.005
|
|||
27
|
BHC
|
Mg/lt
|
-
|
0.21
|
|||
Mikrobiologik
|
|||||||
1
|
Koliform tinja
|
Jml/100ml
|
0
|
2000
|
|||
2
|
Total koliform
|
Jml/100ml
|
3
|
10000
|
|||
Radioaktivitas
|
|||||||
1
|
Gross Alpha activity
|
Bq/L
|
0.1
|
0.1
|
0.1
|
0.1
|
|
2
|
Gross Beta activity
|
Bq/L
|
1.0
|
1.0
|
1.0
|
1.0
|
|
Adapun
penggolongan air menurut peruntuknnya adalah sebagai berikut :
1. Golongan
A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung, tanpa
pengolahan terlebih dahulu.
2. Golongan
B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum melalui suatu
pengolahan.
3. Golongan
C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan
4. Golongan
D, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, usaha
diperkotaan,industri, dan pembangkit listrik tenaga air.
Kualitas air yang digunakan masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan
agar dapat terhindar dari berbagai penyakit maupun gangguang kesehatan yang
dapat disebabkan oleh air. Untuk mengetahui kualitas air tersebut, perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium yang mencakup antara lain pemeriksaan
bakteriologi air, meliputi Most Probable Number (MPN) dan angka kuman. Pemeriksaan MPN dilakukan untuk
pemeriksaan kualitas air minum, air bersih, air badan, air pemandian umum, air
kolam renang dan pemeriksaan angka kuman pada air PDAM.
Khusus untuk air minum, disyaratkan bahwa tidak mengandung bakteri
patogen, misalnya bakteri golongan E. coli,
Salmonella typhi, Vibrio cholera. Kuman-kuman
ini mudah tersebar melalui air (Transmitted by water) dan tidak mengandung bakteri non-patogen, seperti Actinomycetes dan Cladocera (Soewarno. 2002).
Persyaratan Kualitas air minum secara Bakteriologis
Parameter
|
Satuan
|
Kadar maksimum yang diperbolehkan
|
Keterangan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1.
Air Minum
|
|||
E. coli atau
Fecal coli
|
Jumlah per 100 ml sampel
|
0
|
|
1.
Air yang masuk sistem
distribusi
|
|||
E. coli atau Fecal col
|
Jumlah per 100 ml sampel
|
0
|
|
Total Bakteri Coliform
|
Jumlah per 100 ml sampel
|
0
|
|
1.
Air pada sistem distribusi
|
|||
E. coli atau
Fecal col
|
Jumlah per 100 ml sampel
|
0
|
|
Total Bakteri Coliform
|
Jumlah per 100 ml sampel
|
0
|
Bagi manusia air minum adalah salah satu kebutuhan utama. Mengingat
bahwa berbagai penyakit dapat dibawah oleh air kepada manusia memanfaatkannya,
maka tujuan utama penyediaan air bersih/air minum bagi masyarakat adalah untuk
mencegah penyakit yang dibawah oleh air. Penyediaan air bersih selain kuantitas
kualitasnya pun harus memenuhi standar yang berlaku. Air minum yang memenuhi
baik kuantitas maupun kualitas sangat membantu menurunkan angka kesakitan
penyakit perut terutama penyakit diare. Sehingga pengawasan terhadap kualitas
air minum agar tetap memenuhi syarat-syarat kesehatan berdasarkan Kepmenkes RI
No 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air
minum (Depkes, 2002 )
Sumber air merupakan salah satu komponen utama yang ada pada suatu
sistem penyediaan air bersih, karena tanpa sumber air maka suatu system
penyediaan air bersih tidak akan berfungsi (Sutrisno, 2000 : 13). Macam-macam
sumber air yang dapat di manfaatkan sebagai sumber air minum sebagai berikut :
1.
Air laut
Mempunyai sifat
asin, karena mengandung garam NaCl.Kadar garam NaCl dalam air laut 3 % dengan
keadaan ini maka air laut tidak memenuhi syarat untuk diminum.
2.
Air Atmosfer
Untuk menjadikan
air hujan sebagai air minum hendaknya pada waktu menampung air hujan mulai
turun, karena masih mengandung banyak kotoran. Selain itu air hujan mempunyai
sifat agresif terutama terhadap pipa-pipa penyalur maupun bak-bak reservoir,
sehingga hal ini akan mempercepat terjadinya korosi atau karatan. Juga air ini
mempunyai sifat lunak, sehingga akan boros terhadap pemakaian sabun.
3.
Air Permukaan
Air Permukaan
adalah air hujan yang mengalir di permukaan bumi. Pada umumnya air permukaan
ini akan mendapat pengotoran selama pengalirannya, misalnya oleh lumpur,
batang-batang kayu, daun-daun, kotoran industri dan lainnya. Air permukaan ada
dua macam yaitu air sungai dan air rawa. Air sungai digunakan sebagai air
minum, seharusnya melalui pengolahan yang sempurna, mengingat bahwa air sungai
ini pada umumnya mempunyai derajat pengotoran yang tinggi. Debit yang tersedia
untuk memenuhi kebutuhan akan air minum pada umumnya dapat mencukupi. Air rawa
kebanyakan berwarna disebabkan oleh adanya zat-zat organik yang telah membusuk,
yang menyebabkan warna kuning coklat, sehingga untuk pengambilan air sebaiknya
dilakukan pada kedalaman tertentu di tengah-tengah.
4.
Air tanah
Air tanah adalah
air yang berada di bawah permukaan tanah didalam zone jenuh dimana tekanan hidrostatiknya
sama atau lebih besar dari tekanan atmosfer (Suyono,1993 :1).
5.
Mata air
Mata air yaitu
air tanah yang keluar dengan sendirinya ke permukaan tanah dalam hampir tidak
terpengaruh oleh musim dan kualitas atau kuantitasnya sama dengan air dalam.
Sistem penyediaan air bersih meliputi besarnya komponen pokok antara
lain: unit sumber baku, unit pengolahan, unit produksi, unit transmisi, unit
distribusi dan unit konsumsi, yaitu
1)
Unit sumber air
baku merupakan awal dari sistem penyediaan air bersih yang mana pada unit ini
sebagai penyediaan air baku yang bisa diambil dari air tanah, air permukaan,
air hujan yang jumlahnya sesuai dengan yang diperlukan.
2)
Unit pengolahan
air memegang peranan penting dalam upaya memenuhi kualitas air bersih atau
minum, dengan pengolahan fisika, kimia, dan bakteriologi, kualitas air baku
yang semula belum memenuhi syarat kesehatan akan berubah menjadi air bersih atau
minum yang aman bagi manusia.
3)
Unit produksi
adalah salah satu dari sistem penyediaan air bersih yang menentukan jumlah
produksi air bersih atau minum yang layak didistribusikan ke beberapa tandon
atau reservoir dengan sistem pengaliran gravitasi atau pompanisasi.
4)
Unit produksi
merupakan unit bangunan yang mengolah jenis-jenis sumber air menjadi air
bersih.
Adapun beberapa sumber air yang dapat diolah untuk mendapatkan air
bersih, yaitu sumur Dangkal/Dalam Pengolahan tidak lengkap hanya pengolahan Fe,
Mn, dan pembubuhan desinfektan, sungai Pengolahan lengkap bila kekeruhannya
tinggi > 50. danau NTU (Nephelometric Turbidity Unit) Pengolahan tidak
lengkap, bila kekeruhan < 50 NTU, unit transmisi berfungsi sebagai pengantar
air yang diproduksi menuju ke beberapa tandon atau reservoir melalui jaringan
pipa. (Linsay, 1995)
DAFTAR PUSTAKA
http://goresanpenaseru.blogspot.com/2015/11/golongan-kualitas-air-menurut.html#.W_ljp4LvfDc
Langganan:
Postingan (Atom)